Selamat Datang di Yayasan Pendidikan Hamzanwadi

WhatsApp Icon 1




Literasi yang Terluka: Membaca Bahaya Makro dari Krisis Kepenulisan di NTB
16 Jun 2025
Literasi yang Terluka: Membaca Bahaya Makro dari Krisis Kepenulisan di NTB

Literasi yang Terluka: Membaca Bahaya Makro dari Krisis Kepenulisan di NTB


Pancor, 16 Juni 2025.-Di tengah kemajuan teknologi dan gempuran informasi global, Nusa Tenggara Barat (NTB) masih berjuang dalam senyap menghadapi salah satu krisis paling mendasar—krisis literasi dan kepenulisan. Bukan sekadar soal minat baca yang rendah atau sedikitnya karya tulis yang terbit, tetapi soal masa depan kolektif yang sedang dipertaruhkan.


Angka yang Membunyikan Alarm

Data dari Susenas mencatat bahwa hingga 2018, NTB masih menyimpan tingkat buta huruf yang tinggi: 12,58%. Di kabupaten tertentu seperti Lombok Tengah dan Lombok Barat, angkanya bahkan mendekati 20%.

Angka-angka ini tidak hanya menyiratkan lemahnya akses pendidikan dasar, tetapi juga menjadi cermin ketimpangan struktural dalam pemerataan pengetahuan.

Sementara itu, hasil Asesmen Nasional (2023) menunjukkan nilai literasi siswa SMA hanya 34,23 poin, menurun dari tahun sebelumnya. Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kita sedang menyaksikan generasi baru yang cerdas teknologi, tapi lumpuh dalam membaca dan berpikir kritis.


 Kepenulisan: Sebuah Perjuangan Sunyi

Balai Bahasa NTB dan beberapa media lokal seperti Suara NTB serta Lombok Post telah mencoba menyalakan bara semangat melalui rubrik-rubrik sastra mingguan. Namun, realitasnya, karya yang terbit masih berasal dari segelintir penulis yang telah punya akses dan minat kuat. Di mana suara penulis muda dari Dompu, Bima, Sumbawa? Apakah mereka tenggelam di antara gawai dan keterbatasan akses informasi?

Pangkalan data riset sastra yang dibangun sejak 2012–2013 menyimpan potensi besar, tetapi masih belum cukup untuk membentuk ekosistem penulisan yang hidup. Tanpa regenerasi, budaya tulis akan mandek, dan yang tertinggal hanyalah kenangan akan sastrawan besar masa lalu.


Bahaya Makro: Dari Ekonomi hingga Demokrasi

Kekurangan literasi bukan sekadar masalah individu yang tak bisa membaca atau menulis. Ia adalah bom waktu sosial dan ekonomi.

  1. Ekonomi Lokal Melemah
    Tanpa budaya baca dan tulis, masyarakat sulit naik kelas secara ekonomi. Mereka lebih rentan pada hoaks, gagal memahami informasi pasar, dan enggan berinovasi.
  2. Demokrasi Rentan Dimanipulasi
    Warga yang tak kritis mudah dipolitisasi. Demokrasi hanya jadi ritual 5 tahunan tanpa pemahaman esensial terhadap hak dan kewajiban warga negara.
  3. Budaya Lokal Menghilang
    Minimnya dokumentasi dan regenerasi penulis menyebabkan sastra lokal dan bahasa daerah perlahan mati. Kisah rakyat, petuah leluhur, dan tembang tradisional hanya hidup dalam ingatan, bukan dalam buku.
  4. Ketimpangan Digital
    Meski 93% warga NTB aktif di WhatsApp, literasi digital mereka tetap lemah. Mereka adalah konsumen informasi, bukan produsen pengetahuan. Ini memperlebar jarak sosial dan ekonomi di era global.


Saatnya Bertindak: Dari Menulis ke Membangun

Jika literasi adalah pondasi, maka kepenulisan adalah tiang-tiangnya. NTB butuh lebih dari sekadar seminar atau lomba tahunan. Ia butuh strategi jangka panjang:

  • Gerakan literasi desa yang membangun perpustakaan aktif berbasis komunitas.
  • Pelatihan menulis dan jurnalistik bagi guru, santri, dan pemuda lokal.
  • Penerbitan alternatif: dari digital zine, blog kolektif, hingga kanal YouTube berbasis konten tulis.
  • Riset & dokumentasi budaya lokal yang melibatkan masyarakat adat dan sekolah.


Menulis adalah Menanam Masa Depan

NTB memiliki akar budaya yang kuat, semangat komunitas yang tinggi, dan warisan sastra yang kaya. Tapi semua itu akan hilang jika tidak dituliskan, jika tidak diajarkan untuk dibaca.

Membangun literasi bukan kerja satu lembaga. Ini kerja lintas waktu, lintas generasi. Bila kita tak mulai sekarang, maka kita sedang mempersiapkan masa depan yang bisu, buta, dan tak mengenal dirinya sendiri.

📌 “Masyarakat yang membaca adalah masyarakat yang mengerti. Masyarakat yang menulis adalah masyarakat yang membentuk peradaban.”

Mari mulai dari yang kecil, dari satu tulisan, satu pengalaman, satu suara.

 Hamzanwadi Press membuka ruang bagi siapa pun yang ingin menyuarakan ide, membagikan cerita, atau merawat budaya lewat tulisan. Kirimkan naskahmu, dan jadilah bagian dari gerakan membangun peradaban lewat pena.