Pancor dan Kekhasannya

Pancor dan Kekhasannya
Terdapat banyak pertanyaan, kenapa Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ketika membangun pondok pesantren Darunnahdltain tidak membangun asrama terpusat seperti pondok pesantren pada umumnya. Tentu, bukan karena keterbatasan sumber daya tapi karena kedalaman visi.
Maulana Syaikh tahu, pesantren bukan sekadar bangunan tempat santri tidur dan belajar. Pesantren, baginya, adalah ekosistem kehidupan. Maka beliau memilih model yang lebih membumi: santri tinggal di rumah-rumah warga, bukan di asrama tertutup.
Menghidupkan Kampung, Menggerakkan Keberkahan.
Dalam sistem ini, kampung bukan sekadar lokasi pesantren, tetapi bagian tak terpisahkan dari struktur kepesantrenan itu sendiri. Rumah-rumah warga menjadi tempat tinggal santri, yang otomatis menjadikan warga bukan hanya "tetangga pesantren", tapi menjadi keluarga pesantren.
Warga tidak hanya menerima pemasukan ekonomi dari sewa kamar dan kebutuhan harian para santri. Mereka juga mendapatkan asupan spiritual yang mengalir dari interaksi harian. Santri mengajar anak-anak mereka mengaji, menjadi imam salat di mushalla kampung, bahkan menjadi teman diskusi keagamaan bagi para orang tua.
Tak jarang, hubungan antara santri dan ibu kos melebihi relasi penyewa dan pemilik rumah mereka menjadi seperti anak dan orang tua. Bahkan, tidak sedikit santri yang berasal dari luar daerah atau luar Pancor menikah dengan anak wali kos atau masyarakat sekitar. Tentu, Ada kedekatan emosional yang mendalam, hubungan batin yang tumbuh karena persentuhan ruhani yang tidak dibatasi tembok asrama.
Pesantren Kultural: Di Mana Warga Menjadi Pengurus Tak Tertulis
Model ini menciptakan sesuatu yang luar biasa: masyarakat menjadi bagian dari sistem pengasuhan santri. Mereka menjadi pengawas moral, penjaga akhlak, bahkan pelindung ketika ada ancaman dari luar. Inilah yang membentuk kekuatan sosial pesantren Darunnahdlatain: keberadaannya menyatu dengan denyut kehidupan warga.
Ketika santri menyebar di rumah-rumah warga, yang terjadi bukanlah pelepasan kontrol, tapi perluasan cinta dan pengawasan. Masyarakat merasa memiliki para santri, dan para santri merasa kampung itu adalah rumah besar mereka.
Bayangkan jika santri tidak Tinggal di rumah Warga ?
Coba bayangkan, jika seluruh santri tinggal dalam di satu asrama yang terpusat dan tertutup, kira - kira dimana ribuan keluarga dari seluruh penjuru datang dan menginap saat menghadiri hultah NWDI setiap tahun ?
Banyak keluarga yang "Pulang Kampung Rohani" yang pulang ke Pancor bukan hanya karena ingin menghadiri acara hari ulang tahunan pondok, tetapi karena mereka disambut di rumah-rumah yang telah menjadi rumah kedua bagi anak-anak mereka. Rumah-rumah warga mereka menjadi tempat menginap, tempat berbagi cerita, dan tempat mengenang perjuangan.
"Maka, apa yang dibangun sang Maulana bukan sekedar sistem pemondokan, tapi jaringan kasih sayang dan ukhuwah yang melampui kelembagaan".
Saat Asrama Menjadi Industri
Namun, zaman bergeser. Di beberapa tempat, pembangunan asrama tak lagi lahir dari visi kultural atau kebutuhan pendidikan, tetapi dari logika bisnis semata. Dalam sistem seperti ini, warga sekitar kehilangan peran. Mereka tidak terlibat dalam pengasuhan, tidak ikut mengawasi, dan tidak merasa memiliki. Maka ketika ada pelanggaran, kenakalan, atau bahkan krisis moral di kalangan pelajar, tidak ada pagar sosial yang menahan. Para santri pun rentan terjerumus dalam pergaulan bebas atau kecanduan digital, karena tidak ada ekosistem yang menyeimbangkan.
Menanggapi hal ini, beberapa madrasah di pondok Darunnahdatain mulai mengambil langkah korektif: membangun asrama yang terintegrasi dengan akademik dan pembinaan ruhani. Tujuannya bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebagai sarana penguatan program kepondokan dan isolasi dari lingkungan yang toksik di luar.
Ini adalah langkah strategis yang bisa dipahami, apalagi di saat lingkungan sebagian masyarakatnya sudah terindikasi sekuler dan minim kontrol sosial. Namun tetap penting dicatat, bahwa pembangunan asrama semestinya tidak menjadikan pesantren kehilangan ruh sosialnya yakni keterlibatan masyarakat dalam menghidupi dan menjaga pesantren
"Pesantren tidak cukup dibangun dengan beton dan pagar. Ia harus dihidupi dengan cinta, dijaga oleh warga, dan dipelihara oleh rasa memiliki bersama."
Warisan Maulana Syaikh Zainuddin adalah warisan kultural yang menyeimbangkan antara pendidikan ruhani dan keterlibatan sosial. Santri tidak dijauhkan dari masyarakat, justru dipraktikkan hidup bersama masyarakat. Dari situlah lahir kader-kader ulama yang bukan hanya alim di kitab, tapi juga matang secara sosial dan spiritual.
Semoga kita tidak hanya membangun pesantren, tapi juga membangun masyarakat pesantren di mana ilmu, akhlak, dan kasih sayang tumbuh bersama, saling menjaga dalam ikatan ukhuwah dan keberkahan.
Oleh: Ustadz Sayuti Hamdani, QH.M.A.
Angkatan 43 MDQH NW Pancor.