Selamat Datang di Yayasan Pendidikan Hamzanwadi

WhatsApp Icon 1




Dari Puncak Peradaban ke Jurang Keruntuhan: Membedah Kejatuhan Abbasiyah
12 Jun 2025
Dari Puncak Peradaban ke Jurang Keruntuhan: Membedah Kejatuhan Abbasiyah


Dari Puncak Peradaban ke Jurang Keruntuhan: Membedah Kejatuhan Abbasiyah

oleh: Mufakkir


Pada suatu pagi kelabu di tahun 1258, debu dan asap menyelimuti kota Baghdad. Pasukan Mongol di bawah komando Hulagu Khan menghancurkan perpustakaan Baitul Hikmah—pusat ilmu pengetahuan dunia Islam—dan menenggelamkan ribuan manuskrip ke Sungai Tigris. Konon, air sungai itu berubah warna menjadi hitam karena tinta kitab yang larut.

Sejarah mencatat momen ini sebagai akhir dari Dinasti Abbasiyah yang sudah berkuasa selama lebih dari lima abad. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah Dinasti Abbasiyah runtuh hanya karena invasi Mongol?

Atau jangan-jangan, seperti banyak imperium besar lain dalam sejarah, Abbasiyah sesungguhnya telah hancur dari dalam—dan Mongol hanya datang untuk menyapu puing-puingnya?

Kemegahan yang Pelan-pelan Retak dari Dalam

Abbasiyah lahir dari revolusi. Pada pertengahan abad ke-8, mereka menggulingkan Dinasti Umayyah yang dianggap terlalu Arab-sentris dan diskriminatif terhadap non-Arab. Dengan membawa bendera keadilan dan kesetaraan, Abbasiyah justru memelopori integrasi multikultural dalam kekuasaan Islam.

Baghdad dibangun dan menjadi kota metropolitan dunia. Sejarawan seperti Hugh Kennedy dalam bukunya The Court of the Caliphs menyebut Baghdad sebagai kota dengan “kekuatan tarik spiritual, intelektual, dan material yang luar biasa” pada zamannya. Di sinilah berkembang Baitul Hikmah, tempat para ilmuwan seperti al-Khwarizmi dan Hunayn ibn Ishaq menghasilkan karya-karya penting.

Namun, tak lama setelah masa keemasan itu, Abbasiyah mulai retak. Kekuasaan mulai terkonsentrasi di istana, dan rakyat perlahan dijauhkan dari proses pengambilan keputusan.

Ketika Kekuasaan Berpindah ke Uang dan Pedang

Krisis kepercayaan internal mendorong khalifah merekrut pasukan non-Arab dari etnis Turki dan budak militer. Sejarawan Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam menjelaskan bahwa munculnya kelompok militer profesional ini pada akhirnya “menggiring kekhalifahan ke posisi simbolis”, karena kekuasaan sejati dipegang para jenderal.

Dinasti Buwaihi (Syiah) dan Seljuk (Sunni) adalah contoh bagaimana para “pelindung khalifah” justru mengendalikan politik kekuasaan. Khalifah tetap tinggal di istana Baghdad, tetapi keputusan penting tidak lagi berasal dari dirinya.

Pertikaian Tak Berujung dan Gagalnya Manajemen Keragaman

Salah satu kelemahan Abbasiyah yang sering diabaikan adalah kegagalannya mengelola keragaman mazhab dan etnis. Dalam Lost Islamic History (Firas Alkhateeb), disebutkan bahwa Dinasti Abbasiyah sempat bersikap represif terhadap kelompok rasionalis (Mu’tazilah) maupun sektarian Syiah. Akibatnya, pemberontakan dan fragmentasi kekuasaan sulit dihindari.

Gerakan Zanj—pemberontakan budak kulit hitam di Basrah—menjadi contoh dari ledakan frustrasi sosial yang gagal ditangani dengan pendekatan keadilan. Ini menunjukkan bahwa Abbasiyah tidak mampu membangun sistem yang inklusif dan responsif terhadap ketimpangan.

Ekonomi yang Tak Lagi Bertumpu pada Keadilan

Pusat-pusat dagang dan produksi pertanian mengalami kemunduran. Dalam buku Islamic Empires karya Justin Marozzi, disebutkan bahwa salah satu faktor kemunduran kekaisaran Islam klasik adalah kerusakan sistem irigasi dan meluasnya penguasaan tanah oleh elit istana.

Hal ini diperparah dengan pemborosan anggaran negara untuk istana dan militer, sementara rakyat makin dibebani pajak. Ketika jurang antara kaya dan miskin makin melebar, stabilitas ekonomi pun runtuh.

Mongol: Badai Terakhir, Bukan Satu-satunya Angin

Pasukan Mongol memang brutal. Tapi seperti diulas Bernard Lewis dalam The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years, kekuatan Mongol tak akan mampu menaklukkan Baghdad jika fondasi kekuasaan Abbasiyah masih kuat.

Faktanya, saat serangan terjadi, banyak wilayah Islam sudah menjadi semi-merdeka. Spanyol (Andalusia), Mesir, dan wilayah Asia Tengah sudah melepaskan diri dari kontrol Baghdad. Kekhalifahan hanyalah simbol tanpa otoritas nyata.

Apa yang Bisa Kita Pelajari Hari Ini?

Sejarah Abbasiyah memberi pelajaran penting: kejayaan tidak bertahan jika tak disertai keadilan, inklusivitas, dan kemampuan beradaptasi. Dinasti ini pernah menorehkan tinta emas dalam sains, filsafat, dan seni, tapi juga tercatat dalam lembar-lembar kelam tentang korupsi, diskriminasi, dan kekerasan atas nama stabilitas.

Ketika kita hari ini bermimpi membangun kembali peradaban Islam atau bangsa yang beradab, kita harus bertanya: apakah sistem kita mendengar suara rakyat? Apakah kekuasaan kita inklusif? Apakah ilmu pengetahuan masih jadi arus utama kebijakan publik?

Sejarah, seperti kata Will Durant, bukan sekadar catatan masa lalu, tapi laboratorium masa depan. Dan sejarah Abbasiyah—dengan segala kemegahan dan keruntuhannya—adalah pelajaran mahal yang tak boleh kita abaikan.

Daftar Referensi Populer

  1. Hugh Kennedy, The Court of the Caliphs: The Rise and Fall of Islam's Greatest Dynasty, Weidenfeld & Nicolson, 2004.
  2. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. II: The Expansion of Islam in the Middle Periods, University of Chicago Press, 1974.
  3. Firas Alkhateeb, Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past, Hurst & Co, 2014.
  4. Justin Marozzi, Islamic Empires: Fifteen Cities that Define a Civilisation, Penguin, 2019.
  5. Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years, Scribner, 1995.