Menguak Jejak Sejarah Puasa 10 Muharram: Antara Syukur, Tradisi, dan Dakwah

Menguak Jejak Sejarah Puasa 10 Muharram: Antara Syukur, Tradisi, dan Dakwah
Pancor- Muharram bukan sekadar penanda awal tahun baru hijriyah. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan mulia (asyhurul hurum) yang disebutkan Allah Swt dalam Al-Qur’an, tepatnya pada Surat At-Taubah ayat 36. Dalam ayat tersebut dijelaskan, "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram."
Menurut Muhamad Abror dalam tulisannya di NU Online berjudul Sejarah Puasa Asyura dan Dakwah Adaptif Rasulullah Saw, empat bulan haram itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan-bulan ini disebut al-hurum karena di dalamnya segala bentuk maksiat dilipatgandakan dosanya, begitu pula kebaikan akan mendapat ganjaran berlipat.
Namun, Muharram punya keistimewaan lebih. Di bulan ini terdapat satu hari yang sangat bersejarah: 10 Muharram, yang lebih dikenal sebagai Hari Asyura.
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya Mafâtîh al-Ghaib menyebutkan, hari Asyura menjadi hari penuh syukur bagi Nabi Musa as. Pada tanggal itu, beliau beserta kaumnya diselamatkan Allah dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Sebagai ungkapan rasa syukur, Nabi Musa berpuasa. Tradisi ini kemudian diikuti oleh kaum Yahudi yang berpuasa setiap tanggal 10 Muharram. Menariknya, menurut ar-Razi, puasa Asyura adalah satu-satunya puasa wajib yang dijalankan kaum Yahudi dalam setahun.
Jika umat Islam memiliki puasa Ramadhan, maka umat Yahudi kala itu memiliki puasa Asyura.
Sejarah puasa Asyura ternyata lebih panjang lagi. Menurut Syekh Musa Lasyin dalam Fathul Mun’im Syarhu Shahîh Muslim, orang-orang Arab Jahiliyyah di Makkah juga telah berpuasa pada tanggal 10 Muharram, jauh sebelum kedatangan Islam. Ada dua kemungkinan alasan mereka melakukannya: pertama, mengikuti ajaran Nabi Ibrahim as dalam rangka memuliakan Ka’bah dan hari Asyura, yang pada saat itu juga dijadikan momen pemasangan kiswah (penutup Ka’bah). Kedua, sebagai bentuk penebusan dosa—mereka meyakini bahwa puasa Asyura dapat menghapus kesalahan yang telah mereka lakukan sepanjang tahun.
Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa Asyura. Melalui penjelasan Syekh Muhammad bin Abdul Baqi az-Zurqani dalam Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah, yang mengutip Imam al-Qurtubi, Rasulullah memilih untuk ikut berpuasa pada hari itu. Salah satu alasannya adalah strategi dakwah: agar orang Yahudi merasa bahwa syariat Islam tidak jauh berbeda dengan ajaran Nabi Musa. Dengan demikian, hati mereka lebih mudah diluluhkan, hingga pada akhirnya tertarik untuk mengenal Islam lebih dalam.
Namun, kemudian Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), agar tidak sama persis dengan tradisi Yahudi. Inilah yang menjadi dasar disunnahkannya puasa dua hari (9 dan 10 Muharram) bagi umat Islam hingga kini.
Puasa Asyura bukan hanya tentang sejarah panjang atau tradisi turun-temurun. Ia adalah momen refleksi, syukur, sekaligus sarana mendekatkan diri pada Allah Swt, sebagaimana pernah dicontohkan para nabi terdahulu.